Farhan Sayang, Farhan Malang



Farhan, adalah mahasiswa baru dari sebuah desa kecil di sebuah provinsi. Dia berhasil masuk ke perguruan tinggi terbaik di provinsi itu melalui jalur undangan. Perguruan tinggi itu kabarnya telah memperoleh akreditasi A dan di Indonesia hanya ada lima yang mendapat predikat sama. Lebih hebatnya lagi, dia lolos dengan beasiswa untuk siswa miskin berprestasi yang familiar disebut bidikmisi. Bukan main senangnya dia sebab masuk ke sana adalah impian banyak siswa di sekolahnya. Maka, ia
dengan semangat menyelesaikan segala proses pendaftaran ditemani ayahnya di kota yang sangat asing baginya.
Ketika sampai di kota, perasaan Farhan bercampur aduk. Senang, penasaran, malu, gugup, sebab ia akan berkuliah di perguruan tinggi yang namanya harum. Tak henti-hentinya ia celingak-celinguk di dalam mobil angkutan umum yang akan mengantarnya ke asrama mahasiswa yang disingkat ramsis. Ia diwajibkan tinggal di asrama sebagai penerima beasiswa bidikmisi. Ketika sampai di ramsis, matanya makin berbinar.
Ia pun menuju kantor asrama untuk registrasi. Setelah itu ia diberikan kunci kamar dan menuju kamarnya. Lalu sampailah ia di blok A kamar 627. Kamarnya sederhana. Di dalamnya ada ranjang, lemari dan meja dan kursi belajar untuk dua orang. Di bagian belakang kamarnya terdapat beranda yang menghadap ke bangunan rumah susun yang juga miliki oleh perguruan tinggi tempatnya berkuliah kelak. Perasaannya lega, rupanya tinggal di kota nyaman juga pikirnya.
Namun, kadang apa yang disangka belum tentu benar. Ketika esok paginya ia ingin mandi di kamar mandi milik bersama yang ada di bloknya. Alangkah shocknya dia. Kamar mandi itu sangat bau. Bukan bau wangi pembersih lantai, tapi bau menyengat dari sisa air seni yang mengering. Baunya sangat menusuk hidung. Namun ia terpaksa tetap masuk demi dapat mandi. Tapi, lagi-lagi ada masalah. Airnya tidak mengalir. Padahal ini adalah waktu mandi. Ke mana petugas asrama yang mengurusi air ? ia berkeliling ke berbagai blok dan lantai lain, hasilnya nihil, tak ada air. Ia lalu mencari tahu di mana teman-teman yang lain mandi. Ternyata mereka mandi di sumur terbuka dengan beramai-ramai. Ia lalu membatin, “wah, kalau mendinya begini sih sama kayak di kampung saya”. Ia kecewa melihat semua itu.
Farhan tentu bukan kecewa karena cara mandinya memalukan. Ia sudah terbiasa mandi seperti itu di kampung dan hal itu biasa saja menurutnya. Yang membuat ia kecewa adalh bagaimana mungkin universitas dengan akreditasi A memiliki fasilitas dengan ‘akreditasi E’ ? Jelas urusan air itu adalah hal penting. Air adalah kebutuhan utrama manusia. Bukan cuma untuk mandi, tapi juga untuk memasak dan mencuci. Dan pihak asrama pun seharusnya memperhatikan hal ini dan berhenti memanfaatkan kesabaran mahasiswa.
Sampai di kampus, Farhan terhibur dengan adanya AC di ruang kelasnya. Sebelumnya, ia hanya bisa menikmati AC ketika ia pergi ke bank untuk menabung. Hawa sejuknya pun menyejukkan hatinya. Dengan adanya pendingin udara ini, dai merasa aktivitas belajarnya menjadi lebih kondusif. Terlebih lagi di tiap kelas juga ada lampu neonnya. Ini sangat berbeda dengan kondisi sekolahnya dulu sehingga yang bisa benar-benar belajar adalah yang memiliki motivasi tinggi tanpa mempedulikan adanya AC atau lampu.
Di tengah-tengah presentasi dosen, ia permisi ke kamar kecil. Sampai di sana ia mengelus dada karena kamar mandinya meski lebih baik daripada di ramsis yakni airnya mengalir, namun bau pesing menjalar ke hidungnya. Namun mau bagaimana lagi, ia sudah kebelet. Ia kembali merenung, bagaimana mungkin pihak kampus membiarkan hal semacam ini ? Apakah hal-hal kamar mandi itu dianggap sepele ? Padahal, kan urusan ini bisa dibilang kebutuhan primer kita. Siapa yang nyaman berada di kamar mandinya bau? Apalagi ini kampus terkenal dan kabarnya terbaik di wilayahnya. Ia makin merenung.
Malam harinya, saat semua orang berlayar dalam samudra mimpinya masing-masing, ia bangkit dan bermunajat pada Sang Pencipta, yang tak akan menghindar bila diajak curhat, malah justru akan mendengarkannya hingga tuntas. Ia berdoa agar pihak universitas tak hanya sibuk mempromosikan universitasnya menjadi yang terbaik dan hal-hal pencitraan di beranda rumah saja, tapi mereka juga harus memperhatikan urusan dalam rumah juga. Sebab  mandi dan WC pun tak kalah pentingnya. Kampus ini adalah rumah mahasiswa, yang menikmati mahasiswanya. Maka ia berdoa agar pihak yang berwenang di rektorat tak hanya mengejar citra baik dari luar kampus, tapi juga membuktikan dengan citra baik yang selalu dicitrakan pada penguni kampus itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Begini Rasanya Wawancara S2 Unpad

Yuk, Teladani Sang Ayam Jantan dari Timur !

Kumpulan Cerbung "BUMI" karya Darwis Tere Liye