Yuk, Teladani Sang Ayam Jantan dari Timur !
Hai, sobat, siapa superhero yang kalian sukai di film ?
Superman ? Batman ? Spiderman ? Atau mungkin hero asal Jepang seperti Satria Baja Hitam, atau ada yang lain ?
Itu semua adalah pahlawan-pahlawan fiksi luar biasa yang diciptakan oleh
imajinasi manusia. Di dunia nyata, ada juga kok pahlawan yang sigap
mempertahankan negerinya,
yah, meskipun tak memiliki kekuatan ajaib yang mampu
menghancurkan gedung dalam sekali hantam. Namun, perjuangan mereka sangat gigih dalam mempertahankan wilayahnya
dari serangan musuh. Mereka inilah yang kita kenal sebagai pahlawan Indonesia.
Indonesia punya
banyak pahlawan, karena negara kita, yang pada masa silam dinamakan Nusantara
memiliki wilayah yang luas dan pulau-pulau yang banyak. Jauh sebelum para kaum
terpelajar di awal abad ke-20 memiliki gagasan untuk berjuang melawan penjajah
dengan menyatukan kekuatan seluruh wilayah Nusantara, banyak kerajaan-kerajaan
di negeri kita mesti berjuang sendiri-sendiri demi mempertahankan kekuasaannya
dari kompeni Belanda. Salah satu kisah penuh teladan untuk kita para remaja yang
tak terlupakan adalah kisah perjuangan Sultan Hasanuddin yang sekuat tenaga
membela kerajaannya dari imperialisme kompeni.
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar,
pada 12 Juni 1631. Sejak kecil, ia yang memiliki nama lahir I Mallombassi
Muhammad Bakri Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe telah terbiasa dengan
kehidupan kerajaan sebab ayahandanya, Sultan Malikussaid merupakan Raja Gowa
ke-15 yang memerintah saat itu. Menginjak renaja, putra kedua dalam keluarganya
ini sering mewakili Sang Raja dalam pertemuan raja-raja di sekitar kerajaan
Gowa. Keaktifannya di lingkungan pemerintahan membawanya ke posisi strategis,
yakni sebagai Kepala Bidang Pertahanan Kerajaan Gowa. Puncaknya, pada tahun
1655 ia akhirnya dipercaya menggantikan posisi ayahnya sebagai pemegang pucuk
tertinggi kerajaan, yakni sebagai Raja Gowa ke-16 pada usia yang relatif muda,
yakni 24 tahun. Setelah memeluk agama Islam, ia memiliki tambahan gelar, yakni
Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, namun lebih dikenal dengan
Sultan Hasanuddin saja.
Ketika
ia naik tahta, saat itu kompeni Belanda sedang gencar menguasai perdagangan
rempah-rempah di Indonesia Timur. Kerajaan Gowa sebagai salah satu pusat
perdagangan rempah pun terkena imbasnya, tentu saja Belanda juga akan mengincar
posisi strategis Gowa yang saat itu mengusasi jalur perdagangan di wilayah
timur. Belanda telah berhasil menaklukkan beberapa kerajaan kecil di wilayah
itu. Sultan Hasanuddin yang berdarah Bugis makassar memiliki prinsip Siri’ Na Pacce tentu saja tak rela
wilayahnya dikuasai begitu saja. Ia memiliki rasa malu bila ia dengan tenang
membiarkan negerinya dikuasai orang asing. Ia merasa bertanggungjawab untuk
mempertahankannya. Hal ini membuatnya mengambil langkah untuk mengumpulkan kerajaan-kerajaan
kecil yang tersisa untuk bersama-sama berjuang melawan Belanda.
Perlawanan
kerajaan Gowa memberi dampak serius bagi kedua belah pihak, pada tahun 1660
meletus perang antara Belanda dan Gowa. Namun, perang ini berakhir dengan damai
dengan menghasilkan kesepakatan antara kedua kubu. Ternyata, selang beberapa
tahun ternyata kesepakatan tersebut banyak merugikan pihak Gowa. Tak terima,
mereka melakukan protes dan terjadilah awal dari perang besar yang melibatkan
banyak kerajaan.
Saat itu
Belanda berhasil menghasut beberapa kerajaan lain untuk berpihak pada Kompeni.
Kerajaan-kerajaan itu memiliki kekuatan besar. Dimulai dari kerajaan Bone yang
memiliki Aru Palakka sebagai panglima perang, Kerajaan Ternate, Kerajaan Buton,
dan Kerajaan Seram. Sementara itu, kerajaan Gowa hanya memiliki sedikit
bantuan, yakni dari kerajaan Tallo dan beberapa kerajaan kecil lain. Maka, terjadilah
perang antara Gowa dan Kompeni yang dipimpin Laksamana Cornelius Speelman
tersebut. Peperangan yang terjadi cukup sengit, Belanda sampai harus tiga kali
meminta bala bantuan dari Batavia, ini menunjukkan betapa kuatnya serangan dari
pihak Gowa. Tetapi sayangnya pihak Belanda lebih kuat, seluruh pasukan kemudian
dikerahkan sehingga membuat Gowa tak berkutik yang membuat Sultan Hasanuddin
terdesak dan akhirnya sepakat menandatangani perjanjian Bongaya pada 18
November 1667. Perang ini menjadi perang yang sangat menyakitkan bagi Raja Gowa
itu, bukan hanya karena kekuatan lawan yang besar, namun juga karena ia harus
menghadapi kenyataan bahwa ia harus berperang dengan ‘saudara’nya sendiri,
hanya karena orang asing yang hendak menguasai daerah asal mereka.
Namun
lagi-lagi, perjanjian yang memang terpaksa dilakukan tersebut memberi banyak
kerugian di pihak Gowa. Meski dengan pertahanan yang tak sebanding dengan
kekuatan musuh, Sang Raja Gowa tetap kukuh ingin melawan lagi. Ia tak rela
kerajaannya diinjak-injak begitu saja. Maka ia pun melakukan penyerangan.
Dengan kekuatan Belanda yang sudah solid, perjuangan Sultan Hasanuddin sangat
keras. Namun ia tak dapat mengimbangi kekuatan musuh, hingga akhirnya Benteng Somba
Opu sebagai pertahanan Gowa yang terakhir jatuh di tangan Belanda. Peristiwa
itu terjadi pada 24 Juni 1669. Dengan ini, berakhirlah kekuasaan kerajaan Gowa.
Kalangan
kerajaan yang dikalahkan pun menyatakan menyerah kepada Belanda dan menjadi
bagian dari mereka. Namun tidak demikian halnya dengan Sultan Hasanuddin. Ia
dengan tegas menolak tawaran itu lalu mengundurkan diri dari tahtanya. Ia tetap
berpendirian pada prinsipnya bahwa ia tak akan bekerjasama dengan kompeni. Siri’
na Pacce tetap ia pegang. Kemudian, ia melanjutkan hidupnya dengan mengajarkan
agama Islam dan memberi motivasi perjuangan pada para remaja di Gowa. Namun
pada 12 Juni 1670, ia wafat dengan tetap mempertahankan prinsipnya melawan para
penjajah.
Kegigihan
dan pendirian Sultan Hasanuddin melawan Belanda sehingga membuatnya sempat
kewalahan membuat mereka memberi julukan khusus padanya, yakni de Haav van de Oesten, yang kita kenal
dengan Ayam Jantan dari Timur. Hal ini
menandakan bahwa mereka menganggapnya sebagai lawan yang patut diperhitungkan.
Adapun dari pemerintah Indonesia, berabad-abad setelah ia wafat, ketika
Indonesia telah merdeka, ia secara resmi dinyatakan sebagai pahlawan nasional
melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.087/TK/1973.
Nah,
bagaimana, sobat, bangsa kita pun memiliki kisah heroik yang keren kok, dan
kita sebagai generasi muda yang baik selayaknya mengambil teladan darinya.
Prinsip Siri’ Na Pacce yang dipegang
teguh olehnya untuk mempertahankan negerinya bisa jadi teladan bagi kita di
masa kini untuk mempertahankan nilai asli Indonesia dari gerusan pengaruh
negara luar, okey guys ?
Tulisan ini adalah tulisan original saya, dengan data diambil dari berbagai sumber.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIzin copas materi sama kalimat ini "Sesederhana apapun idemu kemudian dituliskan dengan jujur, it's something."
BalasHapus