Candu Baru Para Remaja
Bagaikan pisau bermata dua, kehadiran teknologi komunikasi
dan informasi juga memberikan dampak bagi dua sisi yang berbeda, yakni sisi
positif dan negatif. Saat ini, ketika manusia sangat dimanjakan dengan
kemudahan berkomunikasi, ketika menyampaikan ‘apa kabar” kepada kerabat yang
berada ribuan kilometer jauhnya hanya
butuh sepersekian detik saja, ternyata bukan membuat manusia menjadi mengambil
manfaat darinya, malah mereka terlena dengan ke ‘instan’an media-media yang
mereka miliki.
Dulu, ketika
aplikasi chatting belum seramai sekarang, saat smartphone masih dalam bentuk
embrio, khususnya di tahun 90an hingga 2000an, para remaja dalam pergaulannya
kebanyakan hanya berteman dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Pada masa
itu, pertemanan jarak jauh berawal dari mengkonsumsi media massa seperti radio
dan majalah. Pada masa itu mendengarkan radio dan melakukan pesan lagu menjadi
hal yang digemari para kawula muda. Karena tiap hari ‘dipertemukan’ di saluran
udara, mereka pun lalu menjalin pertemanan jarak jauh melalui ajang saling
mengirimkan lagu. Tek jauh berbeda, majalah juga menciptakan pertemanan jarak
jauh. Dalam salah satu rubrik majalah masa itu terdapat halaman khusus mencari
sahabat pena. Sehingga, orang yang berada di Jakarta dapat berteman dengan
orang yang tinggal di Makassar.
Dengan hanya
berhubungan melalui surat yang sampainya bisa berhari-hari bahkan lebih dari
seminggu untuk sampai ke tujuan, pertemanan mereka sudah cukup membuat mereka
‘bahagia’. Aktivitas pertemanan tersebut pun tak mengganggu pertemanan mereka
di lingkungan sekitar mereka sendiri. Mereka tetap bersosialisasi dengan
temannya di ‘dunia’nya.
Berbeda 180 derajat
dengan kehidupan mereka, kehidupan remaja masa kini, tepatnta mulai 2012-2014
menunukkan perbedaan nyata. Begitu mudahnya remaja-remaja tanggung tersebut
memiliki sebuah smartphone dengan harga yang relatif murah. Dengan perangkat
itu mereka bisa mendownload berbagai browser dan aplikasi chatting seperti LINE,
BBM, WeChat, dan WhatsApp, serta aplikasi media sosial seperti Facebook,
Twitter, Path, dan Instagram. Dengan semua teknologi tersebut membuat tradisi
sahabat pena praktis tinggal sejarah. Sebab dengan aplikasi-aplikasi itu, untuk
mendapatkan ‘teman’ sebanyak 100 sekalipun, bisa dilakukan dalam beberapa klik
saja.
Namun, bukan
kemudahan komunikasi itu yang menimbulkan masalah bagi mereka. Hal itu justru
merupakan bagian positif dari perkembangan teknologi ini. Yang menjadi fenomena
saat ini adalah media-media sosial dan aplikasi tersebut membuat para remaja
menjadi kecanduan. Kehidupan mereka seolah tak lengkap dan tak bermakna apabila
dalam sehari, bahkan beberapa jam saja tidak melakukan ‘update ststus dulu’.
Bahkan, dalam level berat, segala
aktivitas yang mereka lakukan akan ‘dibikin jadi ststus’, mulai dari bangun
pagi dengan ‘2 rakaat dulu’ hingga malam hari dengan ‘have a nice dream’.
Candu ini sudah
jelas akan mengganggu mereka, yang notabenae masih berstatus pelajar dan
mahasiswa. Di masa itu, seharusnya mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan
kampus, mengikuti berbagai semnar, ikut kegiatan ekstrakulikuler, lomba, dan
sebagainya yang memiliki dampak positif bagi mereka –pemuda Indonesia.
‘Mainan-mainan’ itu justru membuat mereka rela berjam-jam menatap handphone
daripada membaca satu halaman buku.
Lebih dari itu,
orang lain yang ‘terselamatkan’ dari candu itu (dia tidak kecanduan) pun
mendapatkan hal tidak nyaman bila memiliki teman yang seorang ‘pecandu’. Ketika
sekelompok remaja sedang asyiknya bercengkrama dan satu orang berbicara pada
yang lain, yang lain akan mengikuti irama obrolan kecuali Si Pecandu ini.
Kegiatannya yang hanya memelototi layar HP berkomunikasi dengan orang di luar
sana sementara orang yang di sebelahnya sedari tadi mengakrabkan diri
diabaikan, akan menimbulkan ketersinggungan bahkan kekesalan bagi orang yang
sedang berbicara itu. Sungguh aneh, teknologi yang tujuannya diciptakan untuk
menjalin komunikasi malah ‘memutuskan’ komunikasi. Tak heran bila muncul
istilah “Social networking Social Destruction” dan “Teknologi mendekatkan yang
jauh dan menjauhkan yang dekat”.
Fenomena ini memang
belum sampai pada taraf berbahaya, namun
bila dibiarkan dan dianggap biasa, maka suatu saat nanti pemuda-pemudi
Indonesia akan tenggelam dalam dunia maya dan akan membuat bangsa ini sepi akan
gebrakan-gebrakan baru dari para calon
generasi penerus bangsa. Padahal, saat ini negara kita sangat
membutuhkan banyak tangan-tangan dan ide-ide kreatif dari pemikiran para
pemuda, yang masih segar dan mengikuti perkembangan zaman. Apabila hal ini
terus berlangsung, maka generasi muda Indonesia akan semakin turun kualitasnya,
dan ini jelas merupakan ancaman bagi bangsa kita di masa yang akan datang. Ini
bukan lelucon.
Namun ada yang
perlu diperhatikan, adanya dampak kecanduan digital ini bukan berarti kita
menolak adanya teknologi tersebut. Seperti yang telah saya kemukakan
sebelumnya, itu justru bagian positifnya. Kemudahan yang kita miliki akan lebih
bermanfaat bila kita mampu memperlakukannya dengan bijak, dan hal itu adalah
anugerah tersebsar bagi para pemuda Indonesia yang memahaminya.
Wahai pemuda, mari bersama berjuang menyelamatkan masa
depan kita.
Komentar
Posting Komentar
Sesederhana apapun idemu kemudian dituliskan dengan jujur, it's something.