Merah Delima - Episode 1
Anak-anak sekolah menengah pertama berlarian dari dalam sekolah, meluapkan seluruh kepenatannya setelah melalui ujian semester yang melelahkan. Di antara mereka ada seorang anak perempuan mungil yang berjalan sendiri. Dengan rambut dikuncir kuda, diikat dengan pita merah, dibalut dengan wajah menggemaskan khas anak baru gede gadis kecil itu sangat manis, apalagi bila tersenyum. Itulah aku, Sita. Iya, gadis imut itu adalah aku.
Aku biasanya pulang bersama sahabatku sejak masih balita, Diba. Kami sselalu pulang bersama, rumah kami berdekatan. Aku dan Diba tinggal di sebuah kompleks perumahan di kota besar. Sejak masih digendong Mama, aku sudah mengenal Diba. Bahkan, kata Mama dulu dia dan mamanya Diba sering jalan-jalan bersama ketika kami masih dalam kandungan mereka. Wow, sungguh persahabatan yang keren, bukan ?
Umur kami sebenaarnya tidak sama. Diba lebih muda tujuh bulan daripada aku. Karena itu, dia sering memanggil aku kakak, meski aku sering melarangnya. Aku lebih suka dipanggil dengan nama saja, lebih akrab. Pernah, suatu kali kami bertengkar gara-gara “kakak’ ini. Aku yang tidak suka dipanggil kakak, pernah tidak bicara dengan Diba selama seminggu, musuhan. Namun, setelah itu aku tidak bisa menahan perasaan kalau aku benar-benar rindu pada Diba. Senyumannya yang manis, mata polosnya, kebaikan hatinya, keakraban kami, membuatku luluh saat dia datang ke rumahku untuk meminta maaf, dan kebetulan waktu itu aku mau ke rumahnya untuk berbaikan. Maka kami langsung berpelukan layaknya dua sahabat yang baru bertemu setelah perjalanan dari luar angkasa. Kami bersalaman, dia berjanji tidak akan memanggilku kakak lagi, meski dia sendiri masih tidak terima kenapa aku begitu tidak suka.
“Nggak, bang, saya ada jemputan”. Aku melambaikan tangan pada tukang ojek yang menawariku untuk diantar pulang.
“Huh, kenapa sih Diba hari ini ? Ke mana dia ? padahal tadi malam dia sudah janjian lewat Chatting Facebook mau mentraktir aku makan Ayam Goreng di depan sekolah. Apa jangan-jangan dia sakit ya”, aku berguman dalam hati sambil memelototi jam tangan pink bergambar Hello Kitty kesayanganku.
Dari kejauhan, kulihat mobil keluarga kami sudah daatang. “Lho, kok mobil Papa sih yang datang? Pak Hadi ke mana ?”, gumanku. Pak Hadi adalah supir yang khusus ditugaskan untuk menjemput aku dan adikku.
Semenit kemudian, mobil berhenti dan saat kulihat kepala siapa yang menyembul dari balik pintu, dia Pak Tarno, supir pribadi Papa. Wajahnya tampak pucat.
“Silakan masuk, Nak Sita, Bapak sudah menunggu di rumah”, katanya sambil membukakakn pintu untukku.
“Ada apa, Pak ? Papa baik-baik saja kan ? Dia seminggu lalu baru check up di Singapura, dan hasilnya dia sehat, bugar. Singapura tidak mungkin salah, kita sudah bayar mahal.” Aku berkata tanpa menunnggu Pak Tarno selesai menyalakan mesin mobil.
“Tenang, Nak Sita, semua baik-baik saja. Papa cuma ingin bertemu kamu, ada hadiah spesial buat kamu”, lagi-lagi dia makin membuat aku penasaran.
Namun, sebelum aku mengeluarkan rentetan pertanyaan lagi, HP ku tiba-tiba berbunyi, ada SMS dari Diba. Aku mengabaikannya. Lanjut ingin bertanya ke Pak Tarno, ada apa sebenarnya.
“Pak, hadiah apa sih? Ulang tahunku masih dua bulan lagi”, kali ini Pak Tarno sudah melaju meninggalkan sekolahku.
“Emm,,,,,itu rahasia, Nak”, katanya sambil tersenyum, namun tampak di wajahnya ia sedang bingung.
“Ada apa sih, Pak? Apa...”. belum sempat aku aku bertanya lagi, HP ku berbunyi lagi, dari Diba lagi, tapi kali ini SMS nya banyak.
Aku mendengus kesal, pada Pak Tarno dan Diba, namun alangkah kagetnya kau saat membaca SMS dari Diba, isinya pendek, tapi cukup membuat aku kaget minta ampun. Dari display layar HP tampak banyak SMS dengan isi yang sama.
Sita, jangan pulang ke rumahmu.Ini gawat. Mereka bukan Keluargamu lagi, mereka akan membunuhmu !
Bersambung....
Aku biasanya pulang bersama sahabatku sejak masih balita, Diba. Kami sselalu pulang bersama, rumah kami berdekatan. Aku dan Diba tinggal di sebuah kompleks perumahan di kota besar. Sejak masih digendong Mama, aku sudah mengenal Diba. Bahkan, kata Mama dulu dia dan mamanya Diba sering jalan-jalan bersama ketika kami masih dalam kandungan mereka. Wow, sungguh persahabatan yang keren, bukan ?
Umur kami sebenaarnya tidak sama. Diba lebih muda tujuh bulan daripada aku. Karena itu, dia sering memanggil aku kakak, meski aku sering melarangnya. Aku lebih suka dipanggil dengan nama saja, lebih akrab. Pernah, suatu kali kami bertengkar gara-gara “kakak’ ini. Aku yang tidak suka dipanggil kakak, pernah tidak bicara dengan Diba selama seminggu, musuhan. Namun, setelah itu aku tidak bisa menahan perasaan kalau aku benar-benar rindu pada Diba. Senyumannya yang manis, mata polosnya, kebaikan hatinya, keakraban kami, membuatku luluh saat dia datang ke rumahku untuk meminta maaf, dan kebetulan waktu itu aku mau ke rumahnya untuk berbaikan. Maka kami langsung berpelukan layaknya dua sahabat yang baru bertemu setelah perjalanan dari luar angkasa. Kami bersalaman, dia berjanji tidak akan memanggilku kakak lagi, meski dia sendiri masih tidak terima kenapa aku begitu tidak suka.
“Nggak, bang, saya ada jemputan”. Aku melambaikan tangan pada tukang ojek yang menawariku untuk diantar pulang.
“Huh, kenapa sih Diba hari ini ? Ke mana dia ? padahal tadi malam dia sudah janjian lewat Chatting Facebook mau mentraktir aku makan Ayam Goreng di depan sekolah. Apa jangan-jangan dia sakit ya”, aku berguman dalam hati sambil memelototi jam tangan pink bergambar Hello Kitty kesayanganku.
Dari kejauhan, kulihat mobil keluarga kami sudah daatang. “Lho, kok mobil Papa sih yang datang? Pak Hadi ke mana ?”, gumanku. Pak Hadi adalah supir yang khusus ditugaskan untuk menjemput aku dan adikku.
Semenit kemudian, mobil berhenti dan saat kulihat kepala siapa yang menyembul dari balik pintu, dia Pak Tarno, supir pribadi Papa. Wajahnya tampak pucat.
“Silakan masuk, Nak Sita, Bapak sudah menunggu di rumah”, katanya sambil membukakakn pintu untukku.
“Ada apa, Pak ? Papa baik-baik saja kan ? Dia seminggu lalu baru check up di Singapura, dan hasilnya dia sehat, bugar. Singapura tidak mungkin salah, kita sudah bayar mahal.” Aku berkata tanpa menunnggu Pak Tarno selesai menyalakan mesin mobil.
“Tenang, Nak Sita, semua baik-baik saja. Papa cuma ingin bertemu kamu, ada hadiah spesial buat kamu”, lagi-lagi dia makin membuat aku penasaran.
Namun, sebelum aku mengeluarkan rentetan pertanyaan lagi, HP ku tiba-tiba berbunyi, ada SMS dari Diba. Aku mengabaikannya. Lanjut ingin bertanya ke Pak Tarno, ada apa sebenarnya.
“Pak, hadiah apa sih? Ulang tahunku masih dua bulan lagi”, kali ini Pak Tarno sudah melaju meninggalkan sekolahku.
“Emm,,,,,itu rahasia, Nak”, katanya sambil tersenyum, namun tampak di wajahnya ia sedang bingung.
“Ada apa sih, Pak? Apa...”. belum sempat aku aku bertanya lagi, HP ku berbunyi lagi, dari Diba lagi, tapi kali ini SMS nya banyak.
Aku mendengus kesal, pada Pak Tarno dan Diba, namun alangkah kagetnya kau saat membaca SMS dari Diba, isinya pendek, tapi cukup membuat aku kaget minta ampun. Dari display layar HP tampak banyak SMS dengan isi yang sama.
Sita, jangan pulang ke rumahmu.Ini gawat. Mereka bukan Keluargamu lagi, mereka akan membunuhmu !
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar
Sesederhana apapun idemu kemudian dituliskan dengan jujur, it's something.