KERETA ISTIMEWA - Tugas Dasar-Dasar Penulisan Kreatif

       Ini kali pertamaku menumpangi kereta ini. Kereta hitam yang sangat gagah. Siulannya menggema di sela-sela erangan mesinnya. Dari tampangnya, ia mestinya sudah dimuseumkan –menurutku. Namun dilihat dari keemampuannya, ia patut kuacungi jempol. Karena sejak lima jam yang lalu ia gagah berani menembus rumah penduduk, sawah, hutan, dan sebagainya tanpa terbatuk-batuk demi memuaskan hasrat para penumpangnya untuk segera sampai ke tujuan, Yogyakarta.

Aku melihat jam tangan hitam yang kubeli kemarin di Tanah Abang. Kedua jarumnya seakan menyindirku untuk tidur dengan berkata, “Hei, bocah, ini sudah jam sepuluh malam, kamu harus segara tidur!”. Tidak, aku bukan anak kecil tahu, aku sekarang sudah besar. Dengarkan baik-baik, ya, jam murahan, besok aku akan melamar gadis pujaanku, teman masa kecilku, si Ningsih yang menggemaskan itu. Dan begitu kereta tua ini tiba di Jogja, aku akan segara ke rumah orang tuanya bersama rombongan keluargaku yang berada di sekelilingku sekarang ini. Kamulah yang harusnya tidur!
Sekali lagi, kereta ini mengerang dengan kerasnya. Suaranya menggaung ke seluruh penjuru kereta. Aku menatap ke luar jendela. Kulihat pepohonan berlari-lari ke belakang dengan sangat cepat. Di atas, sang rembulan sedang bersinar dengan genitnya. Ia seakan mengerti kebahagiaan yang kurasakan sekarang. Dan mungkin kini ia pun bahagia melihatku sebab ketika aku memberitahu Ningsih tentang niatku melamarnya, ia pun menjadi saksinya. 
Saat itu kami baru pulang dari lembur di kantor. Aku memboncengnya ke kostannya. Namun di tengah jalan, ban motorku bocor, ah, waktu itu aku mengumpatnya namun kini aku mensyukurinya. Ketika banku bocor, aku panik, bengkel apa yang terbuka jam segini ? Tapi dia begitu tenang, ia memintaku agar ikut tenang. Kepanikan justru akan memperparah keadaan, katanya. Sungguh sosok wanita yang menentramkan. Kami pun menyusuri jalan selama setengah jam dan akhirnya kami menemukan bengkel meskipun peralatannya sederhana. Syukurlah.
Sambil menunggu ban motorku ditambal, kami pun berjalan-jalan sekeliling. Wah, kalau ini kebetulan, ini adalah kebetulan luar biasa di dunia ini. Sebab, kami menemukan taman yang dipenuhi bunga yang indah. Sinar rembulan yang ditutupi awan memberi efek menyejukkan pada taman itu. Kami pun duduk di salah satu bangku. Kami mengobrol banyak hal. Mulai dari saat kita pertama kali kenalan saat umur kami beru lima tahun sampai akhirnya ia pindah kota saat kelas dua SMA dan baru ketemu denganku lagi setelah bekerja di kantor yang sama di divisi yang sama pula. Aku sangat senang, jantungku berdetak bagai genderang bertalu-talu. Jika kalian belum tahu, akan kuberikan sedikit rahasiaku, dia adalah wanita yang kudambakan menjadi istriku sejak aku mengenal yang namanya cinta.
Sebenarnya, niat menyampaikan perasaan ini sudah ada sejak aku tahu aku sekantor dengannya. Aku ingin menikahinya langsung, tanpa pacaran, aku telah mengenal sikap dan sifatnya sejak kecil. Jadi kalau tujuan pacaran itu untuk saling mengenal, tentu aku tidak memerrlukannya, bukan ? Aku yakin, saat ini adalah saat yang dijanjikan, the right time. Maka dengan mengucapkan beribu doa dalam hati, aku menyampaikannya dengan mantap, “Ningsih, aku bukanlah raja gombal yang pandai menerbangkanmu ke atas awan, namun yang kamu harus tahu adalah aku akan membahagiakanmu dan anak-anak kita kelak dan aku akan mengigit erat janjiku ini bila engkau bersedia menjadi istriku”. Waktu seakan berjalan sangat lambat. Jantungku dag dig dug kencang menantikan jawabannya. Aku sudah sangat siap menerima semua kemungkinannya. Siap sabar bila ditolak, dan sangat siap bertanggung jawab bila diterima. Dan jawaban itupun dia ucapkan. Bibirnya yang mungil itu mengucapkan kata-kata itu dengan yakin, seyakin-yakinnya, “Iya, aku mau, Mas”. Awan-awan kini mempersilakan rembulan untuk memandangi kami yang sedang sangat berbahagia. Bintang-bintang di langit berkedip-kedip memperindah malam. Alam benar-benar seakan merstui kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Begini Rasanya Wawancara S2 Unpad

Yuk, Teladani Sang Ayam Jantan dari Timur !

Kumpulan Cerbung "BUMI" karya Darwis Tere Liye