Menyaksikan film "Soekarno : Ketika Bung di Ende" (Bukan versi Hanung)
Foto Soekarno bersama Istri dan anaknya beserta seorang pendeta NTT (dalam film)
Berbicara masalah Soekarno tak kan ada habisnya. Selalu banyak cerita yang bisa diulas. Seperti film yang tadi pagi saya nonton. Film ini berjudul 'Soekarno : Ketika Bung di Ende. Ini bukan film Soekarno yang disutradarai Hanung Bramantyo itu lho. Saya juga awalnya mengira begitu. BTW, tadi pagi saya nonton film itu bukan di Bioskop, bukan juga beli kaset bajakan yang harga Rp.8.000 di mall-mall. Hari ini ada acara pemutaran film oleh Dinas Pendidikan. Saya juga belum tahu pasti kegiatan apa ini. Yang jelas pemutaran film ini dilakukan roadshow di beberapa kota di Indonesia, salah satunya adalah makassar, tepatnya di Gedung Baruga A.P.Pettarani Universitas Hasanuddin.
Film yang disutradarai Viva Westi ini menceritakan bagaimana kemelut kehidupan Soekarno yang diasingkan ke Ende, Flores, NTT sejak 1934 hingga 1938. Kalian yang pernah baca sejarah pasti tahu tentang ini. Beliau diasingkan sebab Kolonial Belanda makin khawatir dengan potensi Soekarno untuk menggerakkan rakyat untuk meraih kemerdekaan. Beliau diasingkan ke sana sebenarnya sendiri, tapi Istrinya, Inggit dan anak angkatnya, Ratna Djuam yang akrab dipanggil dengan nama Omi. Selain itu ibunda Soekarno juga ikut mendampingi anaknya.
Lantas siapakah pemeran Soekarno ? Seperti yang bisa kalian lihat di atas, pemerannya adalah Baim Wong, aktor Indonesia yang pastinya sudah familiar bagi kita, terutama bagi pecinta sinetron. Lalu, istri Soekarno, Inggit diperankan oleh Paramitha Rusady. Baim Wong dipilih sebab sang Sutradara merasa dialah yang paling mirip dengan Soekarno.
Pada awal-awal di Ende, belum ada tanda-tanda bahwa Soekarno akan 'bertindak'. Ia justru hanya berkeliling menyapa warga setempat. Namun pihak Kolonial yang super cemas akan potensi penggerakan Soekarno, memarahi para warga yang telah diajak ngobrol oleh beliau, akibatnya banyak warga yang takut bertemu Soekarno.
Soekarno mulai melakukan sesuatu, dia mengajak warga untuk ikut dalam proyeknya yaitu bermain Tonil. Tonil adalah sandiwara, atau mungkin lebih mudah kalian mengerti bila disebut teater saja. Tentu saja pihak kolonial tidak menganggapnya sebagai ancaman sehingga dibiarkan. Mungkin kamu bingung, mengapa mesti teater, apalagi kalau kamu belum pernah membaca sejarahnya. Baiklah, saya jelaskan singkat. Soekarno ingin menanamkan nilai-nilai perjuangan pada warga Ende melalui teater itu, dan hasilnya diharpkan akan masuk ke lubuk hati terdalam. Teater tersebut sukses membuat rakyat di sana membara.Salah satu naskah teater menggambarkan bahwa suatu saat nanti Indonesia akan merdeka yakni pada tahun 1945 ! Wow, apakah ini kebetulan ?
Di sini pulalah, Soekarno terinspirasi untuk merumuskan dasar negara Indonesia, Pancasila. Ia melihat keberagaman di Ende merupakan penggambaran dari Indonesia, dan kesamaan nasib terjajah membuat rakyat yang berbeda-beda punya misi satu, Indonesia merdeka. Jadi, kisah di Ende ini bisa dibilang cikal bakal terbentuknya Indonesia.
Namun, aku melihat kekurangan dalam film ini, setidaknya menurutku dan beberapa temanku, bahwa film ini berasa 'flat', tanpa klimaks yang berarti. Ini mengingatkan saya ketika menonton film Habibie dan Ainun, juga sama 'flat'nya, sehingga aku merasa tidak menikmati film ini. Alur pembawaan emosinya tidak terlalu terasa, padahal jika dilihat film ini bergenre drama. Aku berfikir, apakah memang sang sutradara ciri khasnya memang begini ? Ataukah karena ini kisah besar yang dianggap oleh sutradara adalah pengetahuan umum sehingga sulit menambah rasa tegang, atau entah alasan apa, yang jelas ini membuatku mengantuk di banyak bagian film.
Karena penasaran sekali, aku putuskan bertanya langsung ke sang sutradara, saat itu ia ada duduk di bangku paling depan. Setelah film usai, aku mendekat ke beliau. Banyak orang yang meminta tandatangan ke beliau. Aku menunggu sampai mereka selesai. Aku juga mau sekalian foto bersama. Tapi eitttt, dia mau beranjak pergi. Aku ambil kameraku, meminta tolong adik angkatan yang kutemui di situ,. Untung, dengan sigap aku menyalaminya dan meminta foto bersama. Dia lalu berdiri, bersiap pergi. Duh,,, aku belum bertanya, padahal itu tujuan utamaku. Aku segera berdiri di sampingnya, dengan PD berbasa-basi, dan sepertinya saking basinya sampai busuk.
"Ibu sutradaranya ya?"
Aku yakin dia berkata dalam hatinya "Iyalah, kanu dari mana aja?" .
"Bu, kok tadi filmnya nggak klimaks bu?".
Dengan senyum agak dipaksa dan sepertinya ia sedang buru-buru, menjawab, "Itukan baru di Ende, nak. Setelah ini kan beliau dipindahkan ke bengkulu, jadi belum sampai klimaks".
Aku mengangguk saja, meski belum puas. Masa jawabannya begitu saja ? Belum hilang rasa tidak puasku, aku lihat di arah jam tigaku ada salah satu pemainnya, meski bukan pemain utama. Dia tinggi putih besar dan bercambang, Tak kusia-siakan momen ini, kutarik lagi adik angkatanku meminta tolong memfotokanku dengannya. Syukurlah, meski tidak puas tadi, tapi hari ini aku mendapatkan menonton film gratis dan dua foto bersama orang-orang hebat.
Kalau kalian mau lihat fotonya, nih aku kasih gratis kok,, hehe.
Aku dan Bu Viva Westi
Aku dan salah satu pemian film.
Perbaiki isi artikelnya, pemerannya bukan Ria Irawan tapi Paramitha Rusady!
BalasHapusterima kasih kak
Hapus